Figur untuk Berantas Covid-19
#Cerpen
Misal nih, sy sering dapati di candi, jangan naik di stupa ini, malah naik sambil foto.
Kalau di toilet mesjid paling sering, jangan naikkan sandal, malah abai melenggang bebas tanpa peduli tulisan.
Belum lagi budaya antri yg kadang emang ada tandanya namun kita selalu tergesa2. Bahkan ini pun menyerang kaum intelektual, tak jarang kita dapati, tamu hotel bertanya arah kiblat, padahal kl lebih jeli, celingak celinguk di atap atau dinding pasti dapat.
Belum lagi kl di group WA pelatihan, berkali2 pengumumannya harus ditulis ulang akibat pertanyaan itu2 saja berulang dari peserta, tanpa mau membaca. Kl disanggah halus oleh trainer atau panitia di group, baperan keluar group 😁.
Syukurnya negeri kita masih patuh pada figur dan ini harus kita manfaatkan. Misal, kenapa anak2 tidak membantah orangtuanya ?
Belum lagi budaya antri yg kadang emang ada tandanya namun kita selalu tergesa2. Bahkan ini pun menyerang kaum intelektual, tak jarang kita dapati, tamu hotel bertanya arah kiblat, padahal kl lebih jeli, celingak celinguk di atap atau dinding pasti dapat.
Belum lagi kl di group WA pelatihan, berkali2 pengumumannya harus ditulis ulang akibat pertanyaan itu2 saja berulang dari peserta, tanpa mau membaca. Kl disanggah halus oleh trainer atau panitia di group, baperan keluar group 😁.
Syukurnya negeri kita masih patuh pada figur dan ini harus kita manfaatkan. Misal, kenapa anak2 tidak membantah orangtuanya ?
Dominannya bukan karena patuh perintah suci secara langsung, bukan juga takut orangtua. Namun karena ustadz melarang kasar sama orangtua dan anak2 mematuhi ustadznya.
Itu kenapa banyak orangtua meski pimpinan pondok pesantren sekalipun, menitip pembinaan anaknya pada figur yang dipercayai.
Seorang pelanggar lalulintas misalnya, dikejar polisi lalu ditahan suratnya.
Polisi bertanya "apakah anda tidak tahu aturan ?"
"Tahu Pak !" Jawab pengendara tegas
"Lalu kenapa juga masih nerobos lampu merah ?!" Tanya Polisi
"Karena sy tidak tahu bapak ada di situ"
Artinya, seciamik apapun regulasinya, narasinya, himbauannya, peran tokoh masih dibutuhkan untuk mengawal.
Seorang pelanggar lalulintas misalnya, dikejar polisi lalu ditahan suratnya.
Polisi bertanya "apakah anda tidak tahu aturan ?"
"Tahu Pak !" Jawab pengendara tegas
"Lalu kenapa juga masih nerobos lampu merah ?!" Tanya Polisi
"Karena sy tidak tahu bapak ada di situ"
Artinya, seciamik apapun regulasinya, narasinya, himbauannya, peran tokoh masih dibutuhkan untuk mengawal.
Termasuk sy pikir penanganan Covid ini. Tidak bisa satgas Covid hanya di kantor mengutip data dan mengeluarkan perizinan, namun perlu lebih masif turun ke keramaian masyarakat. Tentu saja petugas satgas sangat kurang jika demikian.
Daripada bikin spanduk banyak2, kampanye lewat video seabrek, beli masker atau face shield tanpa disertai kesadaran menggunakan di saat dan tempat yang tepat.
Daripada bikin spanduk banyak2, kampanye lewat video seabrek, beli masker atau face shield tanpa disertai kesadaran menggunakan di saat dan tempat yang tepat.
Lebih baik melibatkan banyak tokoh masyarakat, tenaga pendidik, tokoh agama, polisi, tentara dan tenaga medis sebagai Satgas Covid Gampong.
Rekrut mereka, gaji selayaknya, beri edukasi dan minta mereka terlibat mengawal masyarakat. Kampanye langsung, minta jaga jarak meski di kerumunan yg menjadi sentral ekonomi masyarakat. Kawal prosedur kesehatan tetap berjalan meski di kampung sekalipun.
Mumpung anggaran belum habis tahun ini, mumpung wabah ini masih mengganas, sehari saja bisa terdampak 3000 s.d 4500 orang.
Mumpung anggaran belum habis tahun ini, mumpung wabah ini masih mengganas, sehari saja bisa terdampak 3000 s.d 4500 orang.
Dari pada bikin spanduk lagi, dari pada cari panggung pejabat lewat benda tutup hidung dan mulut, lebih baik melibatkan tokoh. Karena kita masih percaya figur.
Ditulis oleh: Khairuddin