Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Ketulusan di Lintas Laweung - Krueng Raya

#Cerpen

Sejak berangkat dari Bireuen, Senin (26/10/2020) saya sudah curiga ada yang tidak beres dengan minibus yang sudah 1,5 tahun menyertai tiap perjalanan. Hanya saja, saya tidak memahami secara pasti apa yang sedang terjadi. 

Ketulusan di Lintas Laweung - Krueng Raya

Laju kendaraan terasa tidak nyaman. Saya cek ban, tidak ada kendala. Demikian juga kondisi mesin, tidak ada sedikitpun trouble. 

Tiba di Simpang Beutong, Pidie, saya bersama istri memilih jalur Laweung - Krueng Raya. Tidak ada tarik -menarik pendapat, padahal hari telah sore. 

Kami membatalkan rencana makan mie sure laweung. Ketika melintas Keude Laweung, perut masih terasa penuh. Anak - anak juga tidak ada yang minta berhenti. "Nanti saja pada kesempatan lain," ujar Mutia Dewi. 

Kami sudah dekat Gampong Biheu, ketika dengan terpaksa menghentikan laju Kijang Kapsul produksi 2002. Suara - suara aneh kian nuaring terdengar. Saya cek ban satu persatu. 

Tiba-tiba, sebuah truk diesel berkelir putih berhenti dan parkir tepat di depan mobil kami. Seorang sopir yang saya taksir sebaya dengan saya, turun dari balik kemudi.

"Ada apa, Bang?" tanya lelaki itu dengan mimik prihatin. 

Saya menjelaskan kondisi mobil. Saya tunjukkan ban yang saya curigai sebagai sumber masalah. 

Dia melihat dengan telaten. "Oh, ini penyebabnya. Bila bukan lahar yang habis, maka seal (dianya menyebut kain panas) yang robek. CO gardan sudah merembes ke dalam tromol rem," katanya.

Dia kembali ke truknya yang padat muatan pasir basah. Diambilnya dongkrak. Dengan cekatan membuka ban dan mengecek kondisi. 

"Kain panas sudah rusak. Lahar sudah goyang. Tapi perjalanan masih bisa dilanjutkan. Jalan pelan-pelan saja karena rem tidak lagi seimbang antara kiri dan kanan," katanya, sembari mengemasi peralatannya dan dimasukkan kembali ke boks kuncu truck itu. 

Saya merogoh kantong, memberikan sedikit uang kopi dan uang rokok. Sebagai bentuk ucapan terima kasih. 

"Mohon maaf, Bang. Saya tidak dapat menerimanya. Saya ikhlas mmembantu Abang. Sesama pengguna mobil kita harus saling menolong di jalan. Hari ini Abang, besok saya," kata lelaki yang memperkenalkan dirinya Edi.

"Saya orang Leungah, Aceh Besar, menikah ke Biheu," katanya ramah ketika kami bersalaman. Kami juga sempat berfoto.

Kami melanjutkan perjalanan. Istri saya terharu. Bang Edi memilih menunda mengantar pasir pesanan orang, hanya untuk membantu kami. Bila dia egois, tentu dia memilih melanjutkan pekerjaan utamanya, ketimbang membantu musafir seperti kami. 

Tapi dia memilih membantu dan menunda tugas pokoknya sebagai sopir. Sungguh luar biasa.

Terima kasih, Bang Edi. Kamu telah mengingatkan satu hal penting, bahwa kita tidak pernah tahu kapan akan mendapatkan halangan, dan juga tidak tahu siapa yang akan menjulurkan tangan dengan penuh cinta. 

Untukmu sahabat baruku, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu. 

Salam penuh persahabatan.

Ditulis oleh Muhajir Juli
CEO acehtrend