Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Prestasi Tidak Selalu Berbentuk Angka dan Ranking

USK BISA APA PROF SAM ?

Pantun ini agak enggan saya balas, ibarat Apa Karya saat debat kontestasi Pilgub Aceh periode lalu ditanya oleh moderator, "apa program pembangunan Aceh". Jawaban Apa Karya cakep sekali "boh kupue program, asai pruet trou dumpue aseue". Offside banget namun sangat menghibur.

Prestasi Tidak Selalu Berbentuk Angka dan Ranking

Namun sekelas profesor, baru kali ini saya dapat hiburan, hanya maaf sama sekali tidak bernilai akademis.

Bapak tiga kali offside menurut saya, (1) katanya memiliki data pendidikan Aceh rendah tapi memaparkan pada partai politik, (2) ketika wawancara ditanya, program apa agar pendidikan Aceh meningkat kualitas, jawaban bapak, perbaiki akreditasi. Ini kocak menurut saya, akreditasi mana yang bermasalah?, rerata sekolah di Aceh akreditasinya A dan B. Lucunya masih ada beberapa akreditasi di USK yang C. Tapi percaya pada akreditasi untuk mengukur kualitas, kuantitatif banget, sementara pendidikan kita hoilistik, termasuk ukuran kualitatif. (3) kini yang terbaru, ranah melatih guru seolah menjadi ranah "hanya" dinas Pendidikan. Bagi kami IGI, mungkin apak kurang literat perkembangan zaman. eh, saya juga punya data dan fakta.

Bahasan kita malam ini pada poin (3) aja ya Pak, kasihan jika harus menarik data poin (2), meski saya singgung sedikit, tidak perlu terlalu jauh di akreditasi. Mudahnya gini, sebagai pilot school USK, teladan apa yang bisa kami peroleh dari Lab School Unsyiah?. Kalau bicara manajerial dan mutu, sekolah itu saja diangkat deh Pak, biar kami belajar setidaknya. Best practice-nya apa ?.

Bicara ranah pelatihan guru, agak keliru jika kita menginginkan hanya dinas pendidikan provinsi yang selenggarakan. Banyak lembaga bisa bahu membahu membantu guru memberi pelatihan. Mulai dari Kemendikbud, PPPPTK, LPMP, Disdik, bahkan Kampus sekalipun Pak, sebagai bagian pengabdian. Masak gak bisa melihat dari kampus yang lain membina guru melalui komunitas guru, gratis.

Selain itu organisasi profesi guru juga ikut berperan secara moril tanpa tergantung APBN atau APBD membantu meningkatkan kualitas guru, sponsorhipnya banyak dari perusahaan. Semisal IGI atau Jaringan Sekolah Digital Indonesia, tanpa sponsor pun bisa bergerak, apalagi jika dibantu dana hibah yang akuntabel dan tidak mengikat.

Bahkan Prof Sam, dalam juknis BOS, sekolah bisa mengadakan pelatihan peningkatan kualitas mandiri, bernama in house training (IHT), mengundang narasumber yang mereka kehendaki sesuai kebutuhan.

Di sisi lain, sekolah dapat membiayai gurunya mengikuti kegiatan MGMP agar kualitasnya meningkat. Prof, saya itu per tahunnya terlibat menjadi narasumber hampir setiap bulan dengan rata-rata peserta per tahun 800 s.d 1000 guru. Jauh sebelum pandemi sudah terjadi, online maupun offline.

Saya berani bertaruh, sekolah lebih siap dalam pembelajaran daring ketimbang fakultas. Itu karena guru sudah duluan dilatih, jauh sebelum pandemi. Lalu prof menilai pendidikan kita menurun kualitasnya karena pembelajaran daring. Lebih kocak lagi, karena pandemi juga menyerang kampus dan se-dunia.

Pembelajaran daring justru ikhtiar agar pendidikan tetap berlangsung, harusnya diapreasi bukan dipeuphep. Saat ini belum tergambar kualitas pembelajaran saat pandemi, variabelnya banyak sekali, kondisi geografis, ketersediaan sarana, termasuk kondisi yang sangat tidak stabil dalam kedaruratan. Gak apple to apple dong jika meng-komparasi dengan kondisi sebelum pandemi.

Prof Sam, saya pernah dapat nasehat dari teman saya, pendiri JSDI, Bang Indra Charismiadji. Jangan terjebak dengan angka-angka dan rangking, dalam banyak hal kita hanya perlu check list saja. Meski Statistik penting namun kepentingannya bisa bias, tergantung arah mana kita mengggiring. Kualitas itu juga bisa terpancar dari kesenangan hati, saat mata siswa berbinar menerima guru di kelas, atau merasa kehilangan saat guru pindah kelas. Tidak ada angka untuk itu.

Kadang kita lupa prof, hasil yang kokoh tidak akan bisa dari usaha yang ujug-ujug. Semua harus terpola, membangun pondasi butuh waktu. Cina menguasai dunia bukan baru-baru ini mereka membangun kekuatan. Ratusan tahun lalu sudah hingga sekarang berbuah hasil.

Kadang kita sering abai Prof, menghargai justru bisa mengoptimalkan hasil, ketimbang memiliki data lalu menggampit dalam ketiak dan meledek yang lain seolah tidak bisa apa-apa. Padahal kami menantimu Prof, USK bisa apa? kalau cuma bilang kami punya data "kualitas kalian rendah", semakin terukur kualitas akademisi.

Status lalu saya mengajak Prof duduk bareng, mengeksekusi data yang Prof miliki, memadukan dengan yang kami miliki dan kami kerjakan, lalu kita susun Blue Print Standarisasi Kualitas Pendidikan Aceh. Hentikan pantun yang ujungnya hanya polemik, masih ada Bu Lemak untuk pendidikan Aceh yang dinikmati nantinya oleh aneuk geutanyou.

Penutup Prof. Berbulan-bulan belakangan ini, saya dan tim sedang menguji guru non PNS dalam berbagai program. Intinya teman-teman guru non PNS tersebut ingin kita naikkan kualitasnya agar lulus seleksi PPPK sehingga tetap menjadi guru di daerah kita. 

Agak mencemaskan jika akhirnya setelah honorer bertahun-tahun, kandas oleh sistem tes yang mereka gak mencapai passing grade. Kami membina juga, agar mereka siap. Dalam beberapa kali pelaksanaannya Prof, hasil uji teman-teman kami masih mencemaskan. Sebagian besar dari mereka alumni USK. Titip FKIP ya Prof, semoga kualitas tamatan ke depan lebih siap bertarung, bukan sekedar akreditasi di halaman ijazah mereka.

Tulisan ini adalah kritikan dan tanggapan dari berita:

https://www.readers.id/read/prof-samsul-rizal-melatih-guru-bukan-urusan-usk-tapi-dinas-pendidikan/


Oleh: Khairuddin

Ketua Harian PP JSDI

PP Ikatan Guru Indonesia